Kamis, 12 Mei 2011

Jagalah Penyesalan

Baru minggu ini, saya dan keluarga diperkenalkan dengan sebuah frasa baru oleh seorang kerabat. Frasa itu adalah "jaga penyesalan". Agar kita memahami frasa atau idiom tersebut, baiknya mari kita tengok apa yang menjadi latar belakangnya.
Seorang laki-laki, sebut saja Fulan mempunyai sangkutan kepada saudaranya, sebut saja Anu. Beberapa tahun yang lalu Fulan berhutang kepada Anu sebesar 2,5 juta rupiah. Setelah beberapa lama, Anu menagih piutangnya kepada Fulan, dan Fulan memohon penundaan pembayaran dikarenakan Fulan saat itu tidak mempunyai uang yang cukup untuk melunasi hutangnya. Fulan juga beralasan, kesulitan hidupnya saat itu salah satunya disebabkan oleh Anu. Beberapa waktu sebelumnya Anu bersama kakak-kakaknya, memaksa Fulan untuk mengembalikan mandat pengelolaan usaha keluarga. Tekanan ini diberikan, karena usaha keluarga yang semula berprospek menguntungkan, menjadi merugi, ketika dikelola oleh Fulan. Akibatnya seluruh pemangku kepentingan usaha keluarga tersebut memaksa Fulan untuk mengembalikan mandatnya, dan dengan terpaksa, Fulan melepaskan hak pengelolaannya.
Karena gagal menagih piutangnya, Anu memohon diri, dan (menurut Fulan) menyesali sikapnya beberapa waktu sebelumnya yang ikut memaksa Fulan "lengser keprabon", sehingga kehidupan Fulan saat itu dalam kondisi yang menyedihkan. Nah, penyesalan si Anu ini dipergunakan oleh Fulan untuk mengingatkan janda si Anu, ketika nyonya Anu menanyakan perihal hutang piutang antara kedua saudara tersebut. Oh iya, beberapa bulan setelah insiden penagihan hutang, Anu berpulang ke Rahmatullah. "Jeng Anu, jaga penyesalan si Anu ya. Anu menyesal sekali lho karena telah menyebabkan hidup saya susah seperti ini."
Nah, dengan sepenggal cerita tersebut, tentu kita sudah mulai paham dari mana asal frasa "jaga penyesalan". Sebagai orang yang pernah belajar bahasa, baik bahasa verbal, maupun bahasa pikiran dan bahasa tubuh, saya menjadi bingung dengan frasa tersebut, karena:

  1. Ilmu pemogramaman bahasa syaraf (Neuro Linguistic Programming) mengajarkan untuk tidak menggunakan kata-kata negatif. Nah sesal pun kata yang berkonotasi negatif, dan tidak masuk di akal, jika seseorang diminta untuk menjaga penyesalan;
  2. Agama mengajarkan seseorang untuk mudah melupakan pengalaman yang tidak nyaman. Ketika kehilangan anggota keluarga pun, Agama hanya mengizinkan pemeluknya untuk berduka dalam kurun waktu 3 hari, tanpa memperkenankan siapa pun untuk meratapi kematian dari seseorang. Rasa berduka dan juga ratapan merupakan bentuk rasa penyesalan dalam kadar yang besar. Jadi tentu saja, jika seseorang mengaku sebagai 'orang alim', tentu tidak akan mempergunakan idiom "jaga penyesalan";
  3. merujuk dari argumen ke-2 di atas, maka kata sesal dan penyesalan juga termasuk hal yang dapat mengotori hati. Jadi merupakan sebuah perilaku yang konyol, jika seseorang menjaga sebuah sesal untuk tetap bercokol di dalam hati. Sesal yang terus menerus, akan dapat menciptakan hijab antara seorang hamba dengan Sang Khaliq
Saya merasa pasti, siapa pun yang membaca artikel ini, akan mempunyai argumen atau pendapat lainnya. Namun saya yakin, kebanyakan pasti setuju dengan saya, yang masygul dengan nasehat seseorang untuk "menjaga penyesalan".

Ketika penulis mencoba mengkaji latar belakang dari kejadian timbulnya frasa/idiom tersebut, penulis terhenti pada beberapa hipotesa sebagai berikut:
  1. Sdr. Fulan adalah seseorang yang selalu mencari penyebab di luar dirinya, ketika dia menghadapi masalah;
  2. Sdr. Fulan mengidap sebuah penyakit hati, yakni "ujub" (sombong), karena apa pun masalah yang dihadapi, makan dialah yang benar, dan orang lain yang salah, dan menyebabkan masalah tersebut terjadi;
  3. Sdr. Fulan juga mengalami krisi kepercayaan diri yang sangat tinggi, karena membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk dirinya;
  4. Sdr. Fulan tidak mempunyai 'Ghirah' (semangat) dalam hidupnya, sehingga tidak mau berjuang untuk menghadapi kesulitan hidupnya.
Meskipun penulis bukanlah seorang pakar, tapi penulis adalah seorang pembelajar. Tafsiran penulis atas sebuah kejadian, istilah atau pun masalah seperti di atas, mungkin tidak mengkuti kaidah ilmiah. Namun demikian penulis merasa yakin atas kebenaran argumentasi di atas. Singkatnya sebuah frasa/idiom "Jaga Penyesalan" tidak mungkin dikeluarkan oleh seseorang yang sehat, baik penalarannya mau pun kemampuan logika lingustiknya.

Wallahu 'alam bisshawab.