Rabu, 01 Februari 2012

Singo Edan

Membaca status seorang teman di Facebook, melayangkan ingatan dan imajinasiku pada sesosok jenaka bernama Iyan. Hari-hari pertemanan kami, selalu dibumbui dengan canda dan tawa, meski sesekali, terjadi juga kesalahpahaman di antara kami. Dalam tulisan ini, akan saya sampaikan beberapa fragmen dagelan yang pernah terjadi di antara kami.
Singo edan, begitu seringnya kami di lingkungan Sekretariat Aceh Bappenas, memanggil Iyan dengan sebutan tersebut. Beliau terkenal dengan kemampuannya yang bisa tidur seketika, di saat kami masih bercengkerama. Akibat kemampuan ajaibnya tersebut, Iyan sering menjadi model foto dadakan. Prestasi tertinggi selaku model adalah ketika fotonya digunakan oleh atasan kami sebagai sampul Kartu  elektronik Ucapan Hari Raya, dengan pose terkenal yang digunakan adalah ketika Iyan tertidur di kursi kerja, dengan memakai sarung!
--00OOO00—

Kejenakaan lain yang hingga kini masih teringat fresh di benak kami adalah keisengan Iyan kepada Mr. Tohir, pramubakti kami di Sekretariat Aceh, Bappenas. Suatu ketika, sekitar pukul 10 malam, Iyan berteriak memanggil Tohir.
Iyan (SB):
Hir………….sini!
Tohir (T):
Iya mas, ada apa? (Tohir datang dengan terburu-buru)
SB:
 jam segini masih ada yang jual nasi goreng nggak?
T:
masih mas, di deket Taman (Suropati). Mau pesen? sini saya yang beli. Berapa bungkus? Pedes nggak?
(Tohir antusias sekali, karena selain berharap dibelikan, dia juga berharap ada sedikit uang jasa untuk upayanya)
SB (dengan nada yang penuh ketidak percayaan):
 Jam segini masih ada yang jual nasi goreng?
T:
Masih mas Iyan. Udah kemari-in duitnya, saya yang beliin!
(dengan lagak orang marketing sedang melakukan persuasi kepada calon pelanggan)
SB:
Bukan gitu Hir, ini kan udah malem. Suruh pulang aja tuh tukang nasi gorengnya. Kan kasihan ditunggu keluarganya!
T:
ah sialan, dikerjain lagi saya!
--00OOO00—

Meskipun almarhum seringkali melakukan keisengan, namun tidak satu pun di antara obyek isengnya yang mendendam, kecuali saya. Peristiwa ini terjadi di tahun 2007, namun saya masih mengingat dengan jelas runtutannya. Ketika itu waktunya makan siang, dan kami bekerja di Sekretariat Konflik Bappenas di Kuningan,  Jakarta Selatan. Ketika itu saya memesan makan siang kepada Santo, pramubakti kami. Selain makan siang, saya memesan 2 bungkus rokok. Saya menanyakan ke Iyan, apa di mau dibelikan sebungkus rokok. Dengan angkuhnya dia menolak.
Ketika pesanan makan siang saya datang, Santo menyampaikan uang kembalian kepada saya, dan dengan ringan, Iyan berucap: “udah To, kembaliannya ambil aja!”
Sumpah serapah keluar dari mulutku, karena kembalian yg diberikan masih berjumlah cukup besar, dan lagi itu kan uang saya, kenapa Iyan yang mengambil keputusan?
--00OOO00—
Ketika itu, di awal 2007, saya masih bekerja,sedang Iyan sedang menunggu panggilan kerja di tempat lain. Karena status menunggunya, Iyan sering nebeng rokok ke saya. Suatu kali, dia perlu uang untuk beli bensin motornya, karena dia harus pulang ke Cimone. Namun karena gengsi, dia enggan bicara langsung kepada saya untuk sekedar meminjam uang. Membaca bahasa tubuhnya, saya menggoda dia:
Anom (A):
kenapa lu, mau pulang ke Tangerang? Gak punya bensin ya?
SB:
ada. Cuma belum ada di tangki aja. Di mana ya yang nyediain bensin gratis?
A:
 halah, loe mau minjem aja gengsi! Udah deh, gw kasih aja tuh bensin, tapi gw bikin pengumuman ke temen-temen ya, kalau elo gw beliin bensin.
SB:
Nah itu yang gak kuat, ngasih bensin seliter, tapi pengumumannya ke semua orang.  Ngasih cuma sekali, tapi penghinaannya berkelanjutan!
A:
nggak deh, dihinanya sekali aja, sama temen-temen di sini aja!
SB:
emoh ah. Gacormu ora kene’ dicekel (Nggak mau ah! Mulutmu kan gak bisa dipegang!)
A:
ya udah kalau gak mau.
 (sambil meninggalkan meja kerjanya, saya lemparkan selembar uang dua puluh ribuan ke mejanya).
Iyan dengan sigap merebut duit tersebut. Seketika saya berbalik.
A:
Eit duit gw loncat, jatuh ke situ.
SB:
Gak ada!
A:
Lha itu duit siapa yang di tangan loe
SB:
Nemu!

--00OOO00—
Meskipun saya heran dengan Iyan, yang di awal bulan sudah sering mengalami defisit, namun saya tidak pernah mengkritisi perilakunya tersebut. Dia sangat royal untuk berbagi dengan semua teman-temannya, ketika dia mempunyai kelebihan. Karena sikapnya tersebut, timbul penghargaan dari kami terhadapnya. Ketika dia ‘kepepet’, dia akan mendekati saya dan dengan hati-hati sekali berusaha meminjam sedikit uang kepada saya. Namun karena saya juga bukan orang yang berkelebihan, sering kali saya menolak memberikan pinjaman kepadanya, dan lebih baik saya mentraktir sebungkus nasi goreng atau sekedar membelikan sepuluh liter bensin.
Dengan demikian, memang di antara kami tidak pernah terjadi transaksi utang piutang, karena kami saling menghargai satu sama lain, dan tidak ingin persahabatan kami ternodai oleh kalimat penagihan.
--00OOO00—
Sekedar berbagi kenangan akan sahabatku. Allahummaghfirlahuu warhamhuu wa’afihii wa’fuanhuu. Amin.