Membaca status seorang teman di Facebook, melayangkan
ingatan dan imajinasiku pada sesosok jenaka bernama Iyan. Hari-hari pertemanan
kami, selalu dibumbui dengan canda dan tawa, meski sesekali, terjadi juga
kesalahpahaman di antara kami. Dalam tulisan ini, akan saya sampaikan beberapa
fragmen dagelan yang pernah terjadi di antara kami.
Singo edan, begitu seringnya kami di lingkungan Sekretariat
Aceh Bappenas, memanggil Iyan dengan sebutan tersebut. Beliau terkenal dengan
kemampuannya yang bisa tidur seketika, di saat kami masih bercengkerama. Akibat
kemampuan ajaibnya tersebut, Iyan sering menjadi model foto dadakan. Prestasi
tertinggi selaku model adalah ketika fotonya digunakan oleh atasan kami sebagai
sampul Kartu elektronik Ucapan Hari
Raya, dengan pose terkenal yang digunakan adalah ketika Iyan tertidur di kursi
kerja, dengan memakai sarung!
--00OOO00—
Kejenakaan lain yang hingga kini masih teringat fresh di
benak kami adalah keisengan Iyan kepada Mr. Tohir, pramubakti kami di
Sekretariat Aceh, Bappenas. Suatu ketika, sekitar pukul 10 malam, Iyan
berteriak memanggil Tohir.
Iyan (SB):
Hir………….sini!
Tohir (T):
Iya mas, ada apa? (Tohir
datang dengan terburu-buru)
SB:
jam segini masih ada yang jual nasi goreng
nggak?
T:
masih mas, di deket
Taman (Suropati). Mau pesen? sini saya yang beli. Berapa bungkus? Pedes nggak?
(Tohir antusias sekali, karena
selain berharap dibelikan, dia juga berharap ada sedikit uang jasa untuk
upayanya)
SB (dengan nada yang
penuh ketidak percayaan):
Jam segini masih ada yang jual nasi goreng?
T:
Masih mas Iyan. Udah
kemari-in duitnya, saya yang beliin!
(dengan lagak orang marketing
sedang melakukan persuasi kepada calon pelanggan)
SB:
Bukan gitu Hir, ini
kan udah malem. Suruh pulang aja tuh tukang nasi gorengnya. Kan kasihan ditunggu
keluarganya!
T:
ah sialan, dikerjain
lagi saya!
--00OOO00—
Meskipun almarhum seringkali melakukan keisengan, namun
tidak satu pun di antara obyek isengnya yang mendendam, kecuali saya. Peristiwa
ini terjadi di tahun 2007, namun saya masih mengingat dengan jelas runtutannya.
Ketika itu waktunya makan siang, dan kami bekerja di Sekretariat Konflik Bappenas
di Kuningan, Jakarta Selatan. Ketika itu
saya memesan makan siang kepada Santo, pramubakti kami. Selain makan siang,
saya memesan 2 bungkus rokok. Saya menanyakan ke Iyan, apa di mau dibelikan
sebungkus rokok. Dengan angkuhnya dia menolak.
Ketika pesanan makan siang saya datang, Santo menyampaikan
uang kembalian kepada saya, dan dengan ringan, Iyan berucap: “udah To,
kembaliannya ambil aja!”
Sumpah serapah keluar dari mulutku, karena kembalian yg
diberikan masih berjumlah cukup besar, dan lagi itu kan uang saya, kenapa Iyan
yang mengambil keputusan?
--00OOO00—
Ketika itu, di awal 2007, saya masih bekerja,sedang Iyan
sedang menunggu panggilan kerja di tempat lain. Karena status menunggunya, Iyan
sering nebeng rokok ke saya. Suatu kali, dia perlu uang untuk beli bensin
motornya, karena dia harus pulang ke Cimone. Namun karena gengsi, dia enggan
bicara langsung kepada saya untuk sekedar meminjam uang. Membaca bahasa
tubuhnya, saya menggoda dia:
Anom (A):
kenapa lu, mau pulang
ke Tangerang? Gak punya bensin ya?
SB:
ada. Cuma belum ada
di tangki aja. Di mana ya yang nyediain bensin gratis?
A:
halah, loe mau minjem aja gengsi! Udah deh, gw
kasih aja tuh bensin, tapi gw bikin pengumuman ke temen-temen ya, kalau elo gw
beliin bensin.
SB:
Nah itu yang gak kuat,
ngasih bensin seliter, tapi pengumumannya ke semua orang. Ngasih cuma sekali, tapi penghinaannya
berkelanjutan!
A:
nggak deh, dihinanya
sekali aja, sama temen-temen di sini aja!
SB:
emoh ah. Gacormu ora kene’ dicekel (Nggak mau ah! Mulutmu kan gak
bisa dipegang!)
A:
ya udah kalau gak
mau.
(sambil meninggalkan meja kerjanya, saya
lemparkan selembar uang dua puluh ribuan ke mejanya).
Iyan dengan sigap merebut duit
tersebut. Seketika saya berbalik.
A:
Eit duit gw loncat,
jatuh ke situ.
SB:
Gak ada!
A:
Lha itu duit siapa
yang di tangan loe
SB:
Nemu!
--00OOO00—
Meskipun saya heran dengan Iyan,
yang di awal bulan sudah sering mengalami defisit, namun saya tidak pernah
mengkritisi perilakunya tersebut. Dia sangat royal untuk berbagi dengan semua
teman-temannya, ketika dia mempunyai kelebihan. Karena sikapnya tersebut,
timbul penghargaan dari kami terhadapnya. Ketika dia ‘kepepet’, dia akan
mendekati saya dan dengan hati-hati sekali berusaha meminjam sedikit uang
kepada saya. Namun karena saya juga bukan orang yang berkelebihan, sering kali
saya menolak memberikan pinjaman kepadanya, dan lebih baik saya mentraktir sebungkus
nasi goreng atau sekedar membelikan sepuluh liter bensin.
Dengan demikian, memang di antara
kami tidak pernah terjadi transaksi utang piutang, karena kami saling
menghargai satu sama lain, dan tidak ingin persahabatan kami ternodai oleh
kalimat penagihan.
--00OOO00—
Sekedar berbagi kenangan akan
sahabatku. Allahummaghfirlahuu warhamhuu wa’afihii wa’fuanhuu. Amin.