Rabu, 19 September 2012

KESALAHAN MEMILIH AHLI DALAM TIM SUKSES PEMILU

Segera setelah hasil putaran pertama Pemilihan Gubernur DKI diumumkan oleh KPUD, tim juara dua segera memperkuat tim suksesnya dengan bergabungnya beberapa pakar, agar dapat meningkatkan perolehan suara di PILGUB putaran kedua. Dari berita yang saya baca, tim juara dua itu merekrut Ahli NLP (Neuro Linguistic Programming), ahli Komunikasi Politik dan juga ahli pengembangan kepribadian, agar Cagub juara dua ini dapat meningkatkan citranya. Sebagai pemerhati isu komunikasi, saya menilai bahwa bergabungnya ketiga jenis pakar dalam tim sukses Cagub juara dua ini kurang maksimal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pendeknya waktu untuk memperbaiki citra sang Cagub. Dari dua sudut pandang, yakni komunikasi dan NLP, saya berusaha menyajikan fakta-fakta yang kurang mendukung upaya pemenangan Cagub juara dua ini. 

KESALAHAN DALAM PERCAKAPAN 
Dalam kunjungannya kepada korban kebakaran di Karet Tengsin, Calon petahana mempertanyakan pilihan dari korban kebakaran, dan menambahkan kalimat bernada sinis sebagai penutup. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan dalam sebuah komunikasi yang sehat, apalagi dengan kondisi psikologis korban kebakaran yang membutuhkan simpati, bukan arahan, apalagi hardikan. Seharusnya kemampuan komunikasi dari calon petahana sudah diperbaiki dari dahulu. Ketika baru saja menjabat sebagai DKI 1, dan Jakarta dilanda banjir di jalan Thamrin, Gubernur DKI – yang menjadi juara dua pada Pilgub Putaran I —marah saat ditanya wartawan mengenai Jakarta yang masih banjir. Gubernur saat itu mengatakan: “You kan liat, kalau dulu banjir berapa lama surutnya. Sekarang dalam lima menit hujan berhenti, banjir sudah surut.” Kalau kita mengabaikan subtansi banjir yang saat itu sedang dibicarakan, maka intonasi dan gesture sang Gubernur mengindikasikan beliau sedang marah. Gesture dan intonasi yang sama, dipergunakan oleh Cagub juara 2 dalam percakapannya dengan korban kebakaran Karet Tengsin. Gesture dan intonasi marah juga dipergunakan oleh Gubernur, ketika beberapa saat sebelum penunjukkan dirinya sebagai Calon Gubernur pada pilkada 2012, Gubernur diwawancara oleh wartawan. Wartawan, ketika itu mempertanyakan tentang Jakarta yang masih saja macet (bahkan bertambah parah), padahal Gubernur pernah berjanji akan menyelesaikan masalah macet pada kampanye Pilgub terdahulu. Gubernur ini menjawab: “You jangan liat cuma persoalan macet aja dong. Coba liat IPM DKI Jakarta yang meningkat. Saya rasa itu lebih penting dari sekedar persoalan macet.” Sekali lagi, tanpa melihat substansi kemacetan dan Indeks Pembangunan Manusia, maka hal yang benar, namun disampaikan dengan cara yang kurang bersahabat, akan menimbulkan efek tidak baik bagi individu yang diajak berkomunikasi. Dari hal-hal faktual di atas, saya dapat menilai, bahwa ahli komunikasi yang bertugas memperbaiki cara Cagub Juara II berkomunikasi dengan konstituen atau warga yang dipimpinnya, tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, yakni melakukan assesmen yang benar. Akibatnya saran atau pun masukan perbaikan yang diberikan menjadi tidak maksimal.

KESALAHAN PEMILIHAN FRASA DALAM MEDIA KAMPANYE 
Hal lain yang menjadi perhatian saya adalah spanduk-spanduk yang banyak bertebaran di seanteror Jakarta. Ada satu sepanduk yang sangat mencolok dan menarik perhatian, namun sayangnya spanduk yang bukan berisi pesan kampanye yang eksplisit tersebut, cenderung dapat menjadi bumerang bagi pemasangnya. Spanduk yang saya maksud ini, dapat mengakibatkan hasil yang justru berkebalikan dari maksud pemasangannya. Spanduk yang kurang lebih bertuliskan: “Golput bukan pilihan. Satukan langkah, rapatkan barisan. Jangan Biarkan Jakarta Terkotak-kotak”. Spanduk ini dipasang oleh sebuah LSM (atau Ormas) bernama A***TA. Ketika membaca nama pemasangnya, saya memperkirakan bahwa Ormas ini mendukung Cagub juara II. Sepanjang jalan Pemuda, Jakarta Timur, ada beberapa spanduk dari LSM/Ormas bersangkutan. Hal penting yang dapat saya sampaikan dalam menilai ‘kesalahan’ media kampanye ini adalah frasa “Jangan Biarkan Jakarta Terkotak-kotak.” Frasa ini ditulis dengan motif kotak-kotak, mirip dengan citra Cagub yang menjadi lawan dalam PILGUB Putaran 2; dan karakternya berukuran lebih besar dari kata atau kalimat lain di dalam spanduk tersebut. Sebagai pemerhati ilmu pikiran (mind technology), saya menganggap tulisan tersebut justru menggiring pembacanya untuk memilih “si kotak-kotak”, sebagai akibat dari anchor (angkur/tambatan) berupa visualisasi kotak-kotak yang lebih besar dari ukuran karakter lainnya. Pikiran bawah sadar tidak mengenal maksud negatif, sehingga menihilkan kata jangan, tidak, bukan dan sebagainya. Akibatnya, pikiran bawah sadar akan menerima pesan Jangan Biarkan Jakarta Terkotak-kotak menjadi Biarkan Jakarta Terkotak-kotak. Dan frasa tersebut akan melekat dalam pikiran bawah sadar, karena ukuran karakter yang lebih besar dan citra kotak-kotak yang juga lebih besar. Bagi masa mengambang yang belum menentukan pilihan, namun pernah membaca spanduk ini, akan lebih terpengaruh angkur/tambatan tulisan tersebut. Maka hasil pemasangan spanduk tersebut menjadi jauh panggang dari api. Hal tersebut menunjukkan kekurang pekaan ahli NLP yang bertugas di tim sukses Cagub juara II. Sekali lagi saya sampaikan bahwa pakar yang membantu, tidak menyebarkan ilmunya dengan baik kepada para pendukung Cagub Juara II. 

KESALAHAN DALAM PENGGUNAAN KATA YANG MEMBUJUK (PERSUASIVE WORDS) Meskipun saya mencermati kesalahan dari Cagub Juara II, saya tidak bertendensi untuk berkampanye bagi kemenangan Cagub Juara I. Saya menilai, dari tulisan-tulisan di tempat publik, banyak menunjukkan kedangkalan para pendukung kedua calon dalam etika politik, atau lebih jauh dapat mengindikasikan masih adanya perangkap SARA dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Penggunaan kata Cina, merebak dalam PILGUB kali ini. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa salah satu calon pimpinan DKI berasal dari etnis Cina. Akibat kampanye berupa pengunggahan video kerusuhan 1998, maka di banyak angkutan umum, dapat dibaca stiker bertuliskan Komunitas Cina Bersatu Tidak Dapat dikalahkan; yang berada di bawah sebuah kotak bermotif kotak-kotak. Pada sebuah tembok di terusan kali manggarai, ada sebuah kalimat lain yang dibaca: Pribumi bersatu selamatkan Jakarta. Entah apa maksud dari kalimat tersebut. Kalimat ini sama tidak jelasnya dengan kalimat pada stiker tentang Cina bersatu. Menurut saya, penggunaan identitas kesukuan seperti yang digunakan dalam kedua hal di atas, bernilai absurd, dan menunjukkan potensi disintegrasi kesatuan bangsa masih ada, bahkan di tengah kemajemukan masyarakat Jakarta. Ada tulisan lain yang saya pikir mempunyai arti mengambang dan sangat konyol. Di pinggir kolam pengolahan air dekat jalan tembus ke HR Rasuna Said dari jalan terusan Halimun/Guntur, ada sebuah tulisan yang dibuat menggunakan cat semprot. Kata-katanya: “Asean China Free Trade Agreement”, yang relevansinya dengan PILGUB Jakarta putaran ke dua sama sekali tidak ada. Pembuat tulisan kemungkinan besar ingin bergabung dalam meriahnya PILGUB putaran 2, karena tulisan tersebut belum ada pada akhir putaran pertama hingga berakhirnya bulan puasa yang baru lalu. Namun demikian, bisakah kita melihat tautannya dengan kampanye PILGUB, baik dengan maksud mendukung Cagub Juara I atau pun Cagub Juara II? Sepengetahuan saya, agreement atau perjanjian perdagangan bebas antara Asean dan China, belum pernah ditandatangani. Menurut penafsiran saya, maksud dari tulisan tersebut, jikalau memang terkait dengan PILGUB putaran 2, adalah Perjanjian Dagang ASEAN yang bebas Cina. Nah, makin rancu maksud yang terkandung dalam tulisan tersebut. Sudah jelas, negara Cina tidak berada dalam lingkungan ASEAN. Yang kedua, kalau etnis Cina tidak disertakan dalam perjanjian dagang ASEAN, apakah Singapura harus dikeluarkan dulu dari ASEAN, karena sebagian besar pedagang-pengusaha di negeri jiran ini, berasal dari etnis Cina. 

Dengan semangat melakukan koreksi, saya ingin menyampaikan kepada para politikus, untuk berhati-hati dalam merekrut anggota tim sukses yang bertugas memenangkan tokoh yang diusung agar terpilih dalam sebuah kontes pemilihan pemimpin. Meskipun analisis ini masih harus diuji kebenarannya, melalui hasil akhir PILGUB putaran 2, namun tetap saja imbauan saya agar memilih pakar yang benar-benar kompeten, valid dan relevan setiap waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar