Minggu, 05 Desember 2010

Parodi Sebuah Fragmen Kehidupan (lanjutan)

Petruk Jadi Lurah (Bag. 2)

Masih di pertemuan antara Prabu Dwarawati, Mangkubumi dan Patih. Mereka melanjutkan meeting untuk menindaklanjuti temuan-temuan Tim Pencari Fakta.

Prabu:
Togog, tadi kamu bilang ada prestasi si Petruk itu. Coba jelaskan!

Mangkubumi:
Ampun Gusti, Bibihampa tercatat bebas korupsi yang dilakukan aparat kelurahan……

(Belum selesai kalimat sang Mangkubumi, Prabu sudah menyergahnya.)

Prabu:
Lho kata kamu tadi, si Petruk memang korupsi. Piye sih?

Mangkubumi:
Ampun Gusti ingkang Sinuhun, hamba salah ucap. Apa yang saya maksud adalah kesalahan prosedur. Toh gusti sendiri dengar dari Bendahara, bahwa tidak ada kesalahan yang namanya korupsi.

Prabu:
Iya juga ya. Lalu apanya yang salah dong?

Togog merasa lega, karena prabu tidak melanjutkan kemarahannya. Padahal dia sendiri sudah was-was setengah mati. Di Bibihampa memang tidak ada korupsi yang dilakukan aparat kelurahan, namun keseluruhan korupsi dilakukan oleh sang Lurah. Toh dia tidak berbohong kepada gusti Prabu.

Patih:
Walah, nampaknya Petruk difitnah ini. Saya sendiri sudah bilang ke Petruk untuk sabar menghadapi fitnah kepadanya. Saya malah menjanjikan, kalau dia sudah tidak kerasan di Bibihampa, saya akan bilang ke Ingkang Sinuhun untuk memindahkan Petruk ke tempat lain.

Prabu:
Oh begitu. Kamu koq lancang, gak tanya dulu ke saya, langsung janji ke bawahan saya seperti itu?

Patih:
Nyuwun sewu Sinuhun. Toh biasanya Sinuhun sangat percaya kepada saya. Jadi saya yakin kalau yang saya sarankan pasti tidak ditolak oleh ingkang Sinuhun.

Prabu:
Halah, yo wis lah. Kamu berdua keluar sana… saya mau mikir dulu.

Mangkubumi dan Patih:
Matur sembah nuwun gusti. Kawulo pamit.


(di luar ruangan meeting, kedua petinggi negara tersebut berjalan sambil mengobrol).
Mangkubumi:
Bu Limbuk, saya sebenarnya tahu kalau si Petruk itu salah. Tapi waktu saya wawancara, dia mengancam akan melaksanakan tindakan sesuai posenya.

Patih:
Lho emang ada apa dengan posenya Petruk, pak Togog.

Mangkubumi:
Ibu kan tahu, Petruk itu tinggi besar. Pose nya selalu tangan kanan menunjuk ke atas, sedang tangan kirinya menunjuk ke bawah dan kepalanya mendongak ke atas.

Patih:
 …terus?

Mangkubumi:
Itu kan posisi menantang. Kalau sampeyan yang di atas menurunkan saya, ini dilihat dari pose muka yang mendongak dan tangan kanan yang menunjuk lho bu Limbuk. Maka saya akan menurunkan kalian juga, ini ditunjukkan dengan tangan kiri yang menunjuk ke bawah.

Patih:
Oh gitu tho. Untung aja sampeyan bijak ya pak, jadi bisa menyaring informasi yang harus diterima oleh Sinuhun Prabu. Kalau nggak bisa-bisa Prabu salah langkah dan melengserkan Petruk. Kalau udah gitu kan, bisa-bisa Petruk bertindak yang bukan-bukan untuk menjatuhkan Sang Prabu.

Mangkubumi:
Lha iya. Kalau Sinuhun berhasil dilengserkan sama Petruk, lha kita ikut siapa?

(Patih dan Mangkubumi sama-sama tertawa terbahak-bahak menikmati 'kepandaian' mereka).

Pesan Moral:
Walah, koq orang-orang pintar di dalam pemerintahan Prabu Dwarawati, Prabu Kresna, ternyata hanya mementingkan diri sendiri. Mereka tidak siap menerima jika suatu saat pemimpinnya harus lengser. Mereka berusaha melanggengkan kekuasaan sang Prabu, dengan segala cara, meski harus menutupi kebusukan yang dapat membahayakan keutuhan Kerajaan Dwarawati.

Kesalahan juga dilakukan oleh Prabu Kresna, yang memilih aparatnya tidak sesuai dengan kompetensinya. Mereka bukan orang-orang yang tepat. Contohnya adalah interpretasi mereka terhadap pose Petruk. Sejak dulu Petruk berpose demikian, tangan kanan menunjuk ke atas, dan tangan kiri menunjuk ke bawah, dengan kepala mendongak. Pose yang demikian senantiasa menunjukkan pesan, agar mereka yang di atas sana selalu mengingat mereka yang ada di bawah. Sebagai Lurah, Petruk Kanthong Bolong yang asli, selalu bersikap seperti posenya, saat menasehati tuan yang dibimbingnya. Julukan Kanthong Bolong sendiri memiliki makna bahwa dia tidak pernah menimbun harta, dan selalu membagikannya kepada yang membutuhkan, seperti sebuah kantong yang berlubang.

Pembantu-pembantu Prabu Kresna, yakni Togog, Limbuk dan Lesmono, bukanlah figur yang tepat menjabat di kerajaan Dwarawati. Togog, yang biasanya menjadi punakawan/pendamping figur antagonis, rupanya gamang untuk menjadi Mangkubumi (Perdana Menteri) di negara Dwarawati, negerinya kaum protagonis.

Sementara Limbuk, lebih payah lagi. Biasanya hanya menjadi mbok emban di kaputren, koq diangkat menjadi patih. Tentu ingin mempertahankan status quonya, dan tidak ingin kelihatan bodoh.

Lha Lesmono juga mempunyai peran yang nyeleneh. Pangeran manja dari negara Astina koq diangkat jadi bendahara. Susah dia hendak mengungkapkan kebobrokan, karena kebobrokan-kebobrokan sudah menjadi kebiasaan di negerinya. Sekali dia menemukan kebobrokan di Kelurahan Bibihampa, dia tidak tahu harus melaporkan atau tidak.

Petruk dan Gareng, adalah dua dari empat Punakawan (pendamping/penghibur), yang biasanya hanya bertugas menjadi abdi yang menasehati kebaikan kepada tuannya. Dalam perannya mereka selalu mendapat pimpinan dari Semar yang bijaksana. Saat mereka mendapat peran lain untuk memegang amanah yang lebih besar, nampaknya mereka terkejut, dan ikut masuk terseret derasnya arus kehidupan yang keji.

Mungkin kita sebaiknya tidak berhenti menjadi Bagong, adik terkecil dari Petruk dan Garing, yang berani bersikap untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi kita. Tidak perduli apa pun, terjang sana terjang sini, demi untuk menyuarakan kebenaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar