Kamis, 02 Mei 2013

Penghujat dan Pembangkang

Saya punya dua orang teman dalam sebuah jejaring sosial. Keduanya adalah orang yang berasal dari keluarga yang relijius. Bedanya adalah, si D, masih tetap berpegang padi agamanya, manakala si R sudah melepas semua atribut agamanya, bahkan tidak berpegang pada identitas satu agama pun.
dalam persahabatan kami (di jejaring sosial) seringkali kedua teman saya tersebut menyampaikan opini-opininya tentang kehidupan keagamaan. Mas D, dengan kefasihan dan pemahaman yang di atas rata-rata, hampir selalu mengedepankan agama x yang inclusive. Berpikir dengan cara X yang inklusif, mas D seringkali justru terjerumus ke dalam penghujatan kepada agama X. Seluruh praktek konflik antar agama di Indonesia dan dunia, selalu ditanggapi dengan opini pedas dan kesimpulannya selalu mengarah kepada kesalahan pemerintah dan umat x, yang sebagai mayoritas selalu menindas pemeluk agama lain.
Lain lagi dengan uda R yang agnostik (mungkin sebenarnya atheis), yang memilih bertuhan, namun tanpa ritual atau pun lembaga agama tertentu. Uda R, selalu memaknai symptom-symptom reliji dengan bahasanya sendiri. Uda R mengritik Yesus, Muhammad, Sidharta, dan ajaran yang dibawanya. Namun uda R selalu mengatakan bahwa dirinya adalah pakar ketidakbenaran.
Uniknya, dari kedua persahabatan dengan kedua teman saya, saya memilih tetap berteman dengan uda R, karena meskipun pandangan kita berbeda, dia tidak pernah menghakimi cara pandang kita atau pun kebiasaan kita dalam kehidupan reliji kita. Mana kala, mas D, selalu menyalahkan opini kita yang coba berargumen membela praktek beragama, dalam agama X. Seperti presiden terdahulu, mas D selalu menyalahkan mayoritas atau pun agama X dalam praktek kehidupan sosial, padahal, agama X adalah agama yang dianutnya.
Dari pada saya berteman dengan orang penghujat, saya lebih baik berteman dengan pembangkang yang beretika. Maaf.